Rabu, Maret 04, 2009

Wisata Belanja Ala Anak TK

Mengapa mereka diajarkan belanja? Itu hanya mengajarkan mereka untuk menjadi generasi konsumtif!. Demikian protes ini kukatakan, sewaktu mee bercerita, jika  tadi pagi ia di minta menemani keponakan kami untuk mengikuti program belajar sambil bermain yang diselenggarakan pihak sekolah, di  salah satu mall yang berada dipusat kota. Program inilah yang menyulut protes kerasku.

Dalam program tersebut, masing-masing anak nantinya akan dibekali dengan sejumlah uang oleh orang tuanya. Dengan uang tersebut, mereka akan diminta untuk membeli beberapa barang kebutuhan, kemudian antri dikasir untuk membayar. Sebelumnya mereka diajarkan untuk mengenal beberapa jenis barang yang biasanya dibutuhkan maupun terdapat dirumah mereka.

Sesaat aku tersenyum geli, mendengar cerita mee, ketika interaksi pengenalan barang itu dilakukan, meskipun rata-rata usia anak-anak tersebut belum lagi tujuh tahun, namun mereka dapat menjawab dengan tepat pertanyaan yang dilontarkan oleh guru-guru yang bertugas saat itu.

Ketika sang guru menunjuk produk minyak goreng seraya bertanya “anak-anak ini apa?” sontak anak-anak TK itu menjawab “minyaakkk goreeenggg buu guuurrrruuu”

“Minyak goreng untuk apa anak-anaaaak” ?

“Untuk menggoreng buuu guruuuuu”

“Kalo ini apa”?

“Itu beras bu gurrrruuuuuuu….”

“beras untuk apa….”

“untuk makan bu gurrrruuu”

“bisa juga untuk makanan ayam bu guuuruuuuu” celetuk seorang anak lagi yang bertubuh sedikit kurus…

Perjalanan shooping pun di lanjutkan…

Ini apa aaanaak- anaaaaakkkk?

“es krim bu guuuruuuuu”

“Wah kalian sudah pinter-pinter yaa… semua pertanyaan ibu bisa kalian jawab dengan baik…

Anak-anak itu pun mengangguk setuju.

Menurut mee, diantara kegiatan “wisata belanja” tersebut, para guru ingin pula mendidik dan mengajarkan budaya “antri” sejak usia dini, budaya “tertib” dan “hidup teratur”. Demikian para guru beralasan. Sembari memperlihatkan buku panduan pelajaran yang mereka bawa.

Aku menghela nafas, Kukatakan pada mee, pada dasarnya aku sependapat dengan argumentasi yang dilontarkan itu. Mendidik dan mengajarkan budaya antri, budaya tertib dan hidup teratur, memang sepatutnya diberikan sejak usia dini dan itu sangat tepat, tetapi aku tidak melihat tujuan dan target yang hendak dicapai akan berhasil 120%.

mengapa demikian, karena dengan memberikan dan meminta mereka untuk membelanjakan sejumlah uang, maka kemungkinan besar yang terjadi adalah  “consumptive behavior” akan lebih mendominasi, dibandingkan dengan tujuan dan target awal yang hendak dicapai. Apalagi lanjut cerita mee, anak-anak terlihat lebih antusias pada saat berbelanja dibandingkan pada saat mengantri pembayaran. Nah lho???

Demikian pula dengan para orang tua yang hadir dalam program tersebut, entah apakah itu benar-benar di dorong oleh memenuhi kebutuhan rumah tangga yang memang sudah mencapai waktunya, sembari memanfaatkan momen “sekalian jalan” tersebut atau lebih bersikap latah dan di picu oleh rasa “gengsi”, kemudian banyak orang tua lalu mengambil keranjang dan kereta barang.

Belanja pun di mulai, para orangtua lalu memenuhi keranjang dan trolly-trolly mereka dengan berbagai macam barang, lalu mengantri di kasir bersama anak-anak mereka yang mulai terlihat suntuk.

Padahal, dalam program ini, para guru membatasi  orang tua untuk tidak mengeluarkan uang lebih dari lima belas ribu rupiah. 

Kenyataan yang terjadi adalah beberapa orang tua terlibat aksi lirak-lirik daftar belanjaan antara sesama mereka lalu terlibat aksi borong.  Seorang anak kemudian menangis sejadi-jadinya, ketika ia tidak mendapatkan es krim dan mainan yang diinginkannya, sebab kebetulan ia hanya ditemani oleh baby sitternya. 

Sebagian orang tua yang lain, terlihat menggerutu, manakala anak-anak mereka mulai mengambil aneka barang serta beberapa mainan yang mungkin saja tidak termasuk dalam anggaran belanja mereka bulan ini.

Proses belanjapun selesai, tiba saatnya untuk membayar, anehnya, tidak semua orang tua  mengantri pada dua lajur kasir yang telah disediakan untuk program ini sebelumnya. Tragis bukan?

Menurut pendapatku, sesungguhnya ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh para orang tua dan juga pendidik dalam hal ini, untuk dapat membiasakan, menanamkan, mendidik dan mengajarkan budaya antri, tertib dan hidup teratur pada anak-anak usia dini, tanpa harus terlebih dahulu mengajarkan belanja dan mengeluarkan sejumlah uang kepada mereka.

Jika memang target yang hendak dicapai dalam program belajar sambil bermain itu adalah budaya antri, tertib dan hidup teratur itu sebagai tujuan utama, mengapa tidak membawa mereka ke bank sebagai wahana pembelajarannya. Atau tempat-tempat lain yang tidak memicu perlombaan membelanjakan uang agar terlihat sebagai memiliki uang, atau perlombaan gesek kartu kredit dan gesek kartu belanja yang kesohor itu.

Jika saja para guru-guru ini, membawa anak-anak tersebut ke bank, tentu saja, selain mereka dapat memperlihatkan dan memberikan penjelasan tentang bagaimana sebuah proses budaya antri, budaya tertib dan hidup teratur dengan lebih baik,  pada saat yang sama para guru dapat pula memulai menanamkan kebiasaan untuk menabung sejak dini.

Bukankah menabung lebih positif ketimbang  membelanjakan uang? Bukankah tabungan yang di kelola dengan baik dapat menjadi asset yang berharga di kemudian hari, ketimbang memberikan pelajaran “wisata belanja” yang konsumerisme itu..?

Ini bukan apriori lanjutku kepada mee, hanya saja program ini sangat tidak produktif. Sejenak pikiranku nelangsa. Generasi konsumtif memang lebih mudah diciptakan. Perlombaan tikus dalam bahasa Robert T Kiyosaki menjadi relevan dalam hal ini.

Mau bilang apalagi !!!

Selasa, Maret 03, 2009

Kaya

Kaya

(Bagian 3)

Kaya Itu Takdir atau Pilihan?

                Jika saat ini ada seseorang berdiri dihadapan anda, kemudian ia bertanya kepada anda, dengan sebuah pertanyaan, “apakah seseorang yang“kaya” itu, menjadi “kaya” karena takdirnya atau  karena pilihan hidupnya? Jawaban seperti apa yang akan anda berikan?

                Pertanyaan di atas pernah aku lemparkan, saat aku menjadi seorang pembicara dadakan, dalam sebuah forum diskusi, yang diselenggarakan oleh sebuah organisasi ekstrakampus.

Sebagai hasilnya, dari 40 orang peserta, 5 orang percaya bahwa “kaya” adalah takdir, sesuai dengan garis telapak tangan, 9 orang percaya bahwa “kaya” itu adalah sebuah pilihan, dan sisanya memilih bahwa “takdir dan pilihan hidup” tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Meskipun pada sesi diskusi, terjadi perdebatan yang cukup sengit di antara para peserta, tentang takdir dan pilihan hidup itu, namun di akhir session itu, mereka memiliki pendapat dan keinginan yang sama, mereka semuanya ingin menjadi “kaya”, meskipun dengan paparan alasan yang berbeda-beda.

Pada kesempatan terakhir dalam perbincangan itu, aku menambahkan beberapa lagi alasan, mengapa seseorang hendaknya menjadi seseorang yang “kaya” dalam hidupnya.

Pertama, seseorang dihendaki untuk menjadi seseorang yang “kaya” dalam hidupnya, disebabkan “kaya” adalah amanah dari kehidupan.

Kedua, persiapan untuk menjadi seseorang yang “kaya”, sama sulitnya dan sama mudahnya dengan persiapan untuk menjadi seseorang yang “miskin”. Dengan kata lain, kerumitan dan complicated permasalahan yang timbul sebagai akibat dari keingingan menjadi “kaya”, sama rumit dan complicatednya dengan memilih untuk menjadi seseorang yang “miskin”.

Ketiga, meskipun tidak selalu benar, fakta seringkali berbicara, bahwa orang yang “kaya” dapat melakukan berbagai hal yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang “miskin”.

Senin, Maret 02, 2009

Kaya

Kaya

(Bagian 2)

Ketika seseorang diberikan sebuah pertanyaan tentang apa arti “kaya” bagi mereka, tentu saja jawaban yang diberikan akan berbeda-beda.  Hal ini disebabkan persepsi, pengertian dan pemahaman seseorang atas kata “kaya” juga berbeda-beda. Hal ini dapat dipahami lebih jauh, ketika terjadi sebuah perubahan makna, dimana kata “kaya” itu diletakkan baik di depan maupun dibelakang kata lain untuk membuat sebuah pengertian.

Sebagai contoh, apa yang dapat kita bayangkan ketika kata “kaya” didahului dan dipadankan dengan kata “orang”, sehingga menjadi kalimat pendek “orang kaya”. Kemudian apa yang dapat kita pahami ketika kata “kaya” diikuti oleh kata “ilmu”, sehingga menjadi “kaya ilmu”. Bagaimana pula pengertian yang dapat kita berikan dengan “kaya hati”, “kaya aksi”, “cukup kaya”, “kaya pengalaman” dan lain sebagainya.

Dengan demikian akan sangat tidak tepat jika asumsi umum yang sering dipakai atau dianut pada umumnya, menunjukkan bahwa kata “kaya” selalu di identikkan dengan kepemilikan harta benda. Akan lebih arif jika kata “kaya” diperuntukkan untuk menunjukkan sesuatu yang lebih dari pada umumnya. 

Kaya?

Kaya?

(Bagian 1)

Backgound

Kemarin sore,  iseng-iseng aku mampir ke gramedia, tuk sekedar melepaskan penat. Pengunjung  terlihat begitu ramai, hampir-hampir tak ada lagi ruang yang kosong. Mereka yang tengah mencari buku-buku tertentu, cuci mata, sekedar membaca gratis atau iseng-iseng sepertiku, bercampur menjadi satu. Memenuhi lorong-lorong di antara rak-rak buku yang tersusun dengan rapi.

Sempat terlintas dalam benakku, apakah  suasana sore kemarin, karena kebetulan saja, mengingat,  kemarin adalah hari minggu, atau apakah minat baca dan koleksi buku sudah semakin meningkat? Entahlah.

Tetapi setidaknya, menurutku, ketersediaan bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan seseorang , di tambah dengan tersedianya berbagai ATK yang cukup komplitlah, yang membuat toko buku ini selalu dikunjungi oleh berbagai kalangan.

Sebagai seseorang yang datang dengan iseng dan tengah mencari bacaan yang ringan, tentu saja aku tidak melulu berada pada satu bagian buku. Aku berpindah-pindah, persis kutu loncat. Hingga kemudian berhenti pada sebuah meja yang berisi buku-buku tebal dengan judul “terlaris”.

Buku-buku yang selalu memuat kata “kaya” dalam setiap judulnya. Buku-buku yang ditulis oleh penulis-penulis ternama, penuh motivasi, konsep pemikiran, serta kiat-kiat  tertentu yang mengajak semua orang untuk “sukses” dan menjadi “kaya” dalam hidupnya.

Saat tiba di rumah beberapa pertanyaan sederhana memenuhi kepala.

Beberapa  pertanyaan sederhana yang sama untuk anda:

Apa arti kata “kaya” bagi anda?

Apa  yang kemudian akan anda pikirkan, ketika anda mendengar,  membaca atau mengucapkan kata “kaya” tersebut?.

Apa yang kemudian melintas di dalam benak anda sehubungan dengan kata “kaya”?

Hal-hal apa saja yang telah anda lakukan untuk menjadi “kaya” dalam versi anda saat ini?

(bersambung)

Selasa, Februari 17, 2009

Ponari dan Batu Ajaib Versus Menkes dan Jamkesmas

Ponari masih menjadi pembicaraan dan perdebatan publik hingga tulisan ini diturunkan.

Berita mengenai Muhammad Ponari (9) dukun cilik dari Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang itu, terus menghiasi halaman – halaman media massa cetak, dan tayangan-tayangan media massa elektronik. Bahkan dunia maya memperbincangkan ponari dengan apresiasi yang juga sangat luar biasa.

Ponari hingga hari ini demikian menghipnotis banyak pembaca dan pemirsa di tanah air, ponari juga mendatangkan banyak komentar dari para tokoh-tokoh di tanah air.  Komentar terakhir datang dari Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari.

Mengutip Metrotvnews.com, Jombang: Menyikapi kasus dukun cilik Ponari, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari di Jakarta, Senin (16/2) mengatakan, fakta tersebut tidak berkaitan langsung dengan tudingan, perawatan kesehatan yang mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Menurut Menkes, untuk pelayanan kesehatan pemerintah telah memfasilitasinya melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Menkes menegaskan, kasus Ponari hanyalah fenomena sosial dan tidak berkaitan dengan sistem kesehatan yang dibangun pemerintah.

Menteri Kesehatan dalam hal ini mungkin saja benar, bahwa  Ponari hanyalah sebuah fenomena social yang tidak berkaitan langsung dengan perawatan kesehatan yang mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Karena pemerintah telah menyiapkan Jamkesmas.

Jamkesmas adalah program pengganti Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Untuk bisa menjadi peserta Jamkesmas, nama penduduk harus didaftarkan oleh Kepala Daerah dan masuk dalam Surat Keputusan kemudian diteruskan ke rumah sakit sebagai daftar rujukan untuk mendapat keringanan biaya.

Melalui program Jamkesmas, masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia yang jumlahnya mencapai 76,4 juta jiwa dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis di sarana pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan dengan anggaran dari APBN.

Menjadi pertanyaan adalah meskipun pemerintah telah menyediakan Jamkesmas untuk sebagian masyarakat dan terus berupaya untuk memperbaiki pemberian pelayaan kesehatan kepada masyarakat, namun  mengapa ribuan masyarakat (yang datang ke Ponari) lebih memilih berobat ke Ponari dari pada menggunakan Jamkesmas atau berobat melalui institusi kesehatan resmi. Mengapa masyarakat yang datang berobat keponari itu lebih memilih untuk minum air comberan bekas mandi Ponari di bandingkan dengan minum obat resep dokter?

Jika Ponari adalah fenomena social sesaat dan akan reda dengan sendirinya, lalu mengapa pula, Kak Seto Mulyadi dari Komnas Perlindungan Anak itu, kemudian menyarankan agar pemerintah setempat untuk memfasilitasi adanya tempat penampungan air, sebagai sebuah sarana yang mempermudah “komunikasi” antara Ponari dan pasiennya.

Dimana statement Kak Seto tersebut, secara ekplisit dapat diartikan sebagai upaya mendukung teknik pengobatan yang dilakukan oleh Ponari.

Untuk menjawab dua pertanyaan yang mengemuka di atas tersebut,  patut pula sebuah perhatian diberikan untuk melihat persoalan kesehatan dan fenomena Ponari ini dari sudut pandang pasien.

Pasien yang dimaksud dalam hal ini tidak saja pasien Ponari, tetapi juga Pasien intitusi resmi. Jika dilontarkan sebuah pertanyaan kepada seorang pasien, apa yang mereka ingin dapatkan ketika mereka pergi berobat, tentu saja jawaban umum yang akan kita dapatkan adalah jawaban bahwa mereka ingin sembuh dari penyakit yang mereka derita secara total, dan kemudian sehat seperti sediakala.

Pasien Ponari (pengobatan tradisional dan alternative) maupun pasien institusi resmi pasti akan menjawab demikian.

Namun jika anda kemudian bertanya pada seorang pasien, dengan pertanyaan “bagaimana jika penyakit yang anda derita (penyakit menahun, perlu rujukan sana dan sini, akan di amputasi,  belum ketemu obatnya, tidak ditanggung askes, memerlukan operasi, kemudian ada biaya dokter spesialis, ada biaya perawatan, membutuhkan waktu perawatan yang cukup lama serta obat-obatan yang sangat mahal) dapat disembuhkan dengan segera setelah meminum air putih yang di celup batu ajaib yang di pegang oleh tangan Ponari (yang maaf :habis mengupil itu).

Manakah yang akan anda pilih, anda akan berobat ke institusi resmi (dokter, puskesmas, rumah sakit) atau anda akan pergi berobat ke Ponari?.

Menurut hemat saya, Ponari atau Jamkesmas, pasienlah nantinya yang akan menjadi hakim yang adil dalam fenomena ini.

Ponari dan batu saktinya, sebagaimana jamkesmas yang menjadi program dari departemen kesehatan itu, perlahan namun pasti akan di uji oleh pasien atau masyarakat itu sendiri.

Semoga saja Ponari dapat “berjabat tangan” dengan Institusi kesehatan resmi. Dan masyarakat dengan kearifannya sendiri, dapat mengambil manfaat positif dari keberadaan keduanya.

 

Minggu, Februari 15, 2009

Puisi PuisiKu Bicara Pada Dunia

Puisi puisiku bicara pada dunia

ketika fajar terbit di ufuk timur

Puisi Puisiku bicara pada dunia

                ketika terik membakar peluh

Puisi Puisiku bicara pada dunia

Ketika senja bawakupulang menghitung ajal

Puisi Puisiku Bicara pada dunia

                Ketika malam merenungkan kesejatian

Puisi Puisiku Bicara pada dunia

                Lewat kata kata penuh cinta

                Lewat kata kata penuh canda

                Lewat kata kata penuh angkara murka

Puisi puisiku bicara pada dunia

                Saat belantara raya rata oleh mesinmu

                Saat balitaku bersimbah darah oleh mesiumu

                Saat cintaku berpaling oleh mantramu

Puisi puisiku bicara pada dunia

Lalu mengalirlah ceritaku

Jumat, Februari 13, 2009

Bingung Pilih Caleg, Golput Dan Single Identity Number.

Bingung memilih caleg, demikian inti dari pembicaraanku, dua minggu terakhir, dengan  beberapa customer  ku.

Bingung memilih caleg mencuat dari beberapa obrolan ringan yang kulakukan dengan mereka, para pelangganku, saat aku mengirim barang ketempat mereka.  

Dari kalimat-kalimat yang meluncur ringan itulah, begitu kental dan terlihat jelas bagaimana sulitnya mereka mencari dan menentukan figur pemimpin yang tepat itu.  

Figur caleg yang benar-benar memiliki keberpihakan kepada kalangan menengah bawah. Caleg yang benar benar benar dan benar.

Para pelangganku kebanyakan merupakan pemilik usaha kecil. Pada umumnya mereka membangun usaha-usaha perbengkelan yang dikelola secara mandiri dengan modal yang terbatas. Bahkan dua dari mereka berangkat dari titik minus. Berbekal kemauan keras dan kenekatan, kegigihan dan etos kerja yang cukup baiklah, yang membuat mereka terus eksis dan tumbuh perlahan hingga hari ini.

Dari segi tingkat pendidikan, rata-rata mereka hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah menengah.  Sedikit sekali  yang strata satu. Cara berpikir merekapun sederhana, ndak njlimet, seperti debat-debat partai yang belakangan ini sering muncul di teve-teve swasta. Jauh sekali dari mimpi dan angan-angan akan gelimang kekuasaan. Cara berpikir rakyat kebanyakan.

Sesungguhnya, akupun berada pada posisi yang sama dengan mereka, kata-kata yang acapkali di ucapkan untuk menandai eksistensi “kami” di negeri ini  adalah “rakyat, kaum marjinal, kelas tiga, proletar, orang pinggiran, klas bawah” dan beragam lagi yang menunjukkan bahwa “kami” bukan elit. Apalagi elit politik.

Kebingungan para pelangganku itu, sesungguhnya merupakan kebingunganku juga.

Bahkan, bukan tidak mungkin, menjadi kebingungan sebagian besar masyarakat Indonesia, yang saat pemilu tiba nanti, notabene akan menjadi massa mengambang. Yang berujung memilih golput atau asal contreng alias asal pilih yang penting ikut pemilu. Masa bodoh siapa yang menang, yang penting siapa yang kasih duit, kaos atau sembako yang paling banyak.

Kebingungan para pelangganku, bermula dari pertanyaan yang sederhana, siapakah mereka yang photo dirinya saat ini menghiasi jalan-jalan kota?. Dari mana mereka berasal?. Apa sumbangsihnya selama ini, sehingga mencalonkan diri sebagai caleg?. Bagaimana dengan kredibiltasnya? Kejujurannya? Apakah mereka benar-benar benar amanah? Kog, slogan-slogan dan janji-janjinya sama semua?. Yang di baliho itu bebas korupsi nggak? Pernah nrima suap nggak? Pernah ingkar janji nggak?

Siapakah yang mereka klaim sebagai ”rakyatnya”, sebab spanduk, pamflet, poster, stiker, baliho yang mereka pasang itu selalu menyebutkan kata-kata rakyat.  Entah itu “keadilan untuk rakyat” “kesejahteraan untuk rakyat”  “berjuang bersama rakyat” “kemakmuran rakyat” dan ratusan kalimat –kalimat propaganda yang lain, yang mengatasnamakan rakyat.

Pertanyaan-pertanyaan para pelangganku itu membuatku susah tidur.

Dilarangkah pengatasnamaan “rakyat” itu oleh para caleg dan partai politik?

Tentu saja tidak.

Hanya saja, menurutku, menjual dan memperdagangkan kata “rakyat” untuk sekedar menarik simpati waktu pemilu dan benar benar benar berjuang untuk rakyat adalah dua hal yang sangat berbeda dan bertolak belakang.

Salah seorang pelangganku Nazirin bertanya “mengapa partai tumbuh bak jamur di musim hujan?” aku hanya bisa menjawab dengan singkat “kekuasaan dan demokrasi”

Nazirin bingung. Aku juga. Karena aku sendiri tak begitu memahami jawaban yang kuberikan.

“Sperti mi instan” dengusnya. Sebelum mengucapkan terimakasih kepadaku dan melanjutkan pekerjaannya.

Aku tak mengerti maksud Nazirin, sepanjang jalan dari bengkelnya aku berpikir apa maksud Nazirin menyamakan caleg dengan mie instan. Karena sepengetahuanku mie instan adalah salah satu makanan cepat saji.  Apakah ia menyiratkan bahwa caleg-caleg yang ada saat ini, semuanya instan?

Ya.. Instan.. Tiba-tiba saja jadi. Tiba-tiba saja nongol di belantara politik Indonesia. Tiba-tiba saja memperoleh berbagai fasilitas Negara, tiba-tiba saja sok mau minta di hormati dan di layani. Dan tiba-tiba saja lupa dengan konstituennya. Aku jadi benar-benar  tak mengerti jalan pikir Nazirin.

Politik memang bukan ranah untuk masyarakat kecil sepertiku dan Nazirin. Tapi setidaknya aku dan Nazirin memiliki kesamaan. Tidak suka berada di wilayah abu-abu. Sebuah wilayah di mana tidak ada kawan maupun lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Kepentingan siapa? Kepentingan apa? Demi perut siapa.

Tetapi sebelum pulang, sempat kukatakan pada Nazirin untuk tidak perlu pusing memikirkan mereka yang mau jadi caleg. Biarkan saja. Sebab alam akan menyeleksi mereka dengan caranya sendiri.

Pemimpin adalah primus interpares, ia terkemuka di antara yang sama. Lalu sedikit ku bagi pengetahuanku tentang single identity number kepadanya. Dan ia setuju dengan wacana single identity number itu.

Karena single identity number bukan lah sulap dan bukan pula sihir. Single identity number merupakan suatu keniscayaan. Dan bila terwujud, track record seorang caleg, seorang cagub, seorang capres atau siapapun yang akan memangku jabatan publik, rekam jejaknya akan dapat dengan sangat mudah ditelusuri.

Sayangnya, belum terlihat satupun partai yang mendukung dan bersungguh-sungguh mendorong terwujudnya wacana itu.

Mungkin, ke depan single identity number akan menjadi salah satu jawaban agar masyarakat kecil sepertiku, juga Nazirin, tak akan lagi bingung untuk menentukan pilihan. Ga perlu golput. Atau salah contreng dan lebih penting lagi, ga perlu takut sama dosa dan neraka, karena golput atau salah pilih. 

Semoga saja.

Miadeenatha

Maharani simpuh mencurah pinta dikaki batara

Inginnya segera menjala titah dari surga

Abdipun mengatur sujud saat malam menjelang

Demi masa, penjuru kraton menanti sabda

Eyang putri menganggukkan kepala

Emban putri, panglima dan punakawan berkaca-kaca

Nun, batara agung lalu bicara pada hamba

Agar menyiapkan selaksa panah dan gendewa

Tameng juga kreta yudhistira, sebab batara mengerti lagi bijaksana

Hikayat tlah tertuang dalam serat

Abdi di titah memanah matahari, sebagai tiara bagi maharani.

Kamis, Februari 12, 2009

ponari

Ponari

Ponari  dukun cilik dari jombang dapat mengobati segala macam penyakit ! begitu kata berita beberapa hari terakhir. Ribuan orang rela antri demi mendapatkan pengobatan dari si dukun cilik. Tragisnya  kata berita, empat orang tewas kelelahan saat mengantri.

Ponari menjadi fenomenal sejak menemukan sebuah batu. Batu tersebut ditangan ponari di yakini sebagai sumber pengobatan???...

 Meski Ponari telah menutup praktik perdukunannya. Ternyata masih banyak orang yang datang mengharapkan pengobatan darinya.

Berita-berita tentang ponari beberapa hari terakhir ini memang menyita perhatian public, bahkan menimbulkan perdebatan, terutama bagi kalangan medis dan scientist, yang tentu saja mempertanyakan tentang praktik pengobatan yang sangat tidak ilmiah dan sangat diragukan kebenarannya dari sisi medis itu.

Terlepas dari pertanyaan dan persoalan ilmiah atau tidak ilmiahnya pengobatan Ponari. Menarik untuk dicermati adalah potret ribuan warga yang rela antri berdesak-desakan untuk mendapatkan pengobatan ponari tersebut. Bahkan pasien ponari ada yang datang dari luar kota bahkan propinsi.

Apa yang menyebabkan sebagian masyarakat kita, di jaman serba computer ini masih percaya pada praktik perdukunan dan hal-hal yang berbau mistis?

Pertanyaan akan sebuah alasan, mengapa pada sebagian masyarakat kita masih percaya pada praktik perdukunan, tentu saja tidak dapat dijawab dengan mudah.  Setidaknya dikarenakan alasan dari kepercayaan ini berkaitan erat dengan persoalan social ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan pada masyarakat kita yang tidak merata. Plus ditambah dengan fakta bahwa sebagian praktik pengobatan tradisional ternyata benar-benar memberikan kesembuhan kepada tidak sedikit pasien.

Apalagi masyarakat kita memang terlebih dahulu mengenal teknologi pengobatan “jampi-jampi” dibandingkan dengan teknologi kedokteran.

Rumit dan complicated begitulah kira-kira, kata- kata tepat yang dapat mendeskripsikan tentang sudut pandang sebagian masyarakat kita, dukun, dokter, pemerintah dan kesehatan.

Inilah realita dan fakta yang ada. Kita sering menyebutnya sebagai aneh tapi nyata. Tapi bagiku, lagi-lagi hidup adalah sebuah pilihan. Sebagian masyarakat telah memberikan “vote” mereka bahwa “Ponari mampu memberikan kesembuhan”. Dunia kedokteran dan pemerintah juga telah memberikan “suara” mereka.

Dan sekarang sebagai pribadi, bagaimana dengan pendapat anda?  Mau sok latah atau memiliki sikap yang lain?

Hanya saja dari penglihatan awamku, cerita Ponari di awal Februari 2009 ini adalah sebuah potret buram dari pelayanan kesehatan yang ada di negeri ini.

Minggu, Februari 08, 2009

Bagaimana Mencintaimu


Bagaimana aku mencintaimu

Bagaimana aku mengabdi kepadamu

Apakah harus dengan cara yang sama

Atau…

Bolehkah aku berbeda

Tak menurutmu

Tak seperti biasa

Bagaimana aku mencintaimu?

 

Jangan Bicara Dik !

Jangan bicara Dik !

Bila bicara hanya menambah gundah

Jangan diam Dik !

Bila diam hanya buat kau marah

Tapi, Dik ku mohon

Bicara dan diamlah saat aku minta.

dindri

Deru angin menjela bawa harum  tubuhmu padaku

Oh, permata jiwa yang hanif,

terlukis kabut malam,

dengar…

Nelangsa itu telah usai,

pertanda

Akhir pencarian akan wajah cinta

Ia sujudku pada dua pertiga malam

Nun, bawa aku pada kesaksian hidup

Dan selaksa doa tertumpah

Riuh pada langit fajar

Imajinasi lalu menyeruak

buatku pahat dua patah kata pada dinding hati

Aku bersimpuh dalam taffakur,

saat Nestapa gugur terbawa riang sang embun

lalu Aku berjanji pada hening

impian kan ku pintal pada arsy-Mu

 

kepada cinta

Pada Cinta di ujung langit

Takkah kau lihat

Di sini ada api menyeruak dari palung hati

Pada cinta disudut bayang

Takkah kau dengar

Sepertinya tak ada lagi getar batin itu

Suaranya telah mengecil

Sebab ngilu telah kubicarakan

Pada pohon randu diujung jalan.

....

Senja turun menghaturkan sujud pada malam

Lalu bintang bertandang mengajakku berdansa di awan

Aku diam sebab pintanya

Keakuanku semburat pada tungku batu

Sementara aku ingin kembali

Kecup bibir pelangi

Yang menari perlahan bersamaku

Diantara kecamuk rinai senja tadi.

Hitam Putih

Hitam Putih secarik warna

Hitam putih coretan pertanda

Hitam putih paras gelap dan terang

Hitam putih adalah potret kebajikan dan kesesatan

Hitam putih hanyalah aku

Hitam merupa bayang keabadian

Putih meraga kesesatan hati

Keduanya dipasung gelora cinta

Hanyalah aku yang meramu

Pada selapis asap dupa

Pada gatra penuh mantra

Tak seorangpun tahu

Amarah !


Amarahku mulai surut

tetapi jangan engkau lalu berdiri dihadapanku

sebab amarahku belum lagi usai

sebab busuk lidahmu kemarin tak berbatas

mengusik nuraniku

Amarahku telah melahirkan cinta

Tetapi jangan engkau lalu berdiri dihadapanku

Karena aku tak akan lagi memberimu wajah

Karena aku tak akan lagi memberi hormat kepadamu

Meski sedikit!

Agar kau mengerti !

Agar kau memahami !

Kau..Aku..datang dari negeri yang jauh

Hanya sebab puteri –puteri pertapa

Kau boleh berdiri dihadapanku

Tetapi amarahku belum lagi usai

Belum  lagi reda!

Selasa, Februari 03, 2009

berbenah blog

Bagaimana blognya? Tanya Mee. Sembari melingkarkan lengannya di leherku..
“Belum begitu bagus,..masih biasa-biasa saja.. jawabku datar.
“Coba, boleh dilihat nggak…?”
Aku mengangguk, kemudian menggeser kursiku dari depan computer.
Mee beranjak sebentar mengambil kursi kecil di bawah meja rias, kemudian meletakkannya disebelahku.
Matanya yang bening lalu mengawasi layar computer. Mengamati beberapa perubahan kecil pada blog ku.
“Heii…bukankah ini sudah cukup baik untuk seorang pemula” puji nya seraya menunjuk layar monitor.
Aku tersenyum kecil.
Mee mengambil mouse, lalu menggerakkannya pada blogku, seperti ingin tahu lebih detail.
“Susah nggak buat blognya ?” tanya Mee sembari menyandarkan kepalanya di bahuku.
Aku nyengir… tak segera menjawab.
Jujur harus aku akui, di jaman dimana kuda sudah nggak lagi gigit besi, di mana orang item disuntik vitamin jadi putih, di mana transaksi udah maen gesek, dimana telepon sudah gak perlu kabel, dan di mana dunia yang sudah worldless itu, tetap saja, untuk urusan dunia maya, aku memang rada-rada ketinggalan.
Mungkin ini dikarenakan aku sedikit konservatif dalam hal yang berbau teknologi. Kalau tidak mau dibilang gaptek. Aku seringkali beralasan dan menyebutnya sebagai menyesuaikan dengan kebutuhan. Tetapi begitulah kenyataannya. Saat ini aku tengah bersusah-payah untuk membuat blog ini menjadi “cukup lumayan”…”tidak jelek-jelek amat”…atau apapun namanya nanti, setidaknya sudah cukup memuaskan bagiku.
Sebab yang aku tahu, seseorang professional kaliber wahid sekalipun masih akan terus belajar dan belajar kalo nggak mau jadi bego… ha..haa..haa…
Tapi benerkan, belajar itu membuat kita makin bego?
“Kog, jadi senyum-senyum sendiri..” Mee menyentakkanku dari pikiran yang semakin jauh.
“Gimana, susah nggak?..” Tanya nya lagi.
Aku kembali tersenyum.
“Mengawali sesuatu yang membuat perubahan mendasar pada diri kita tentulah tidak mudah… dan tentu saja terasa berat, tetapi itu bukan alasan untuk berhenti dan menyerah khan…?” bisikku di telinga Mee.
Mee menatapku dan mengangguk setuju.

Jika Aku Pergi

Jika aku pergi suatu ketika nanti
Aku harap kau mengerti
Ini bukan karena kekalahan
Apalagi sebab lelahku
Tidak!
Sama sekali tidak!.
Percayalah ini hanya karena waktuku bersamamu disini telah usai
Sebab aku telah berjumpa dengan takdir pada kiblatmu.
Jika aku pergi suatu hari nanti
Aku harap kau percaya
Aku telah memikirkannya sejak hari ini
Sebab itu kumohon jangan biarkan setitikpun air matamu jatuh untukku
Sebab itu kumohon ingatkan aku jangan ada kata sesal itu
Jika aku pergi suatu ketika nanti
Tak perlu lagi ungkit kebersamaan itu
Karena mungkin akupun telah lupa
Dan lagi pula siapa Aku?
Biarkan semua berjalan seperti apa adanya
Sebab inilah kodrat
Jika aku pergi suatu ketika nanti
Sesekali putarkan tanda-tanda yang kutinggalkan
Bukan untuk mengenangku atau mengingatku
Tetapi karena hati kita yang meminta itu
Dan nanti…
Jika aku benar-benar telah pergi
Jangan biarkan aku menoleh meskipun untuk memandangmu
Biarkan… biarkan pada saatnya nanti
Kubawa kembali diriku kepadamu dengan kereta kencana
Menjemputmu dari batas mimpi yang kugali hari ini
Dan telah kupastikan hari ini.
070804.03.54

Senin, Februari 02, 2009

Hidup Adalah Sebuah Pilihan?

Entah kita sadari atau tidak, hidup yang telah dan saat ini tengah kita jalani adalah perwujudan dari berbagai pilihan dari sebuah proses dan metode, yang seringkali baru akan kita ketahui, pada saat kita mencapai suatu titik dan menoleh kebelakang.
Pilihan yang mengandung konsekuensi logis.
Pada saat menoleh kebelakang, seringkali kita bertanya, tentang apa dan mengapa kita pada saat ini, pada hari ini, berada di titik tersebut.
Apakah keberadaan kita, hingga sampai pada titik tersebut adalah sebuah keinginan dan perwujudan harapan yang kita pilih?
Entah disadari atau tidak, pada titik itu pula, kita lalu melakukan sebuah koreksi dari sebuah pilihan dan keputusan-keputusan yang telah kita ambil dalam rentang waktu yang telah kita lalui.
Hasil dari koreksi dan kontemplasi itu ternyata kita kemudian menjadi sesuatu pribadi yang baru, sesuatu pribadi yang tidak akan pernah sama dengan sebelumnya. Menjadikan kita berbeda.
Kemudian kita mulai memahami maksud atas pilihan itu.
Pilihan yang sesungguhnya tidak pernah kita ketahui maksudnya.
Dan semua yang tersembunyi didalamnya.
Menjadi rahasia antara kita dan pilihan itu sendiri.
Dengan demikian apakah hidup yang kita lakoni hari ini adalah sebuah pilihan?

Minggu, Januari 18, 2009

Titah Lentera

Payung kegelapan lama selimuti tapaku
Hingga jelita bawa lentera dengan kedua tangan penuh cinta
Lalu sematkan di dinding batu
Tanpa bicara
Diam…
dan
Tetap diam…
Hingga nyala lentera mengusik batin hamba
Kemudian hangatnya baluri sisi keraton atma
Yang kemarin terdera
Sedetik..panah tanya memancar dari gendewa jiwa
Menghujam direlung hati pencari derma
Wahai…mahaduta lentera
Mengapa dara bawa lentera pada hamba
Hingga sejuk tatap dara yang semburat dari bingkai kaca
Meracau tapa darma hamba
Apakah sebab titah paduka?
Lalu, dara jelita renda tawa sewangi cendana

Jumat, Januari 16, 2009

Sujud

Yang bersimpuh pada dua pertiga malam
Engkau air mata bromocorah
Nugerah paramasatera cinta puja
Illahiah semesta rupa
Penjaga hati memasung pinta
Usai selaput kehidupan menjela sukma
Semburatkanlah warna jiwa yang hanif
Violeta aura cinta sang abadi
Yang kemarin terlupa sebab lidah malu kelu
Takut berucap dalam simpuh
Aku cinta padamu

Kamis, Januari 15, 2009

Antara Aku, Mee dan Blog Baru Ku.

Masih suka nulis? tanya Mee padaku.
"nggak"... jawabku datar.

Mee diam, agaknya ia menungguku untuk memberi komentar lebih jauh atas pertanyaannya.
"aku sudah tak punya nyali" kataku lagi
mee tersenyum...
"coba saja lagi" bujuknya.
"entahlah, mungkin nanti"
"Bagaimana kalau latihan lagi di blog?
"Blog"?!!!.. keningku berkerenyit. Blog terasa asing di telingaku.
Kemudian Mee, menyodorkan kepadaku sebuah buku...
"Baca deh.."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi Mee terlihat begitu antusias.
Aku tak begitu mengerti, mengapa Mee tiba-tiba mendorongku untuk kembali menautkan kata demi kata seperti yang pernah ku lakukan bertahun lalu.
Aku benar-benar tak memahami maksud Mee.
Memang, Mee tahu, dulu aku pernah keranjingan nulis.
Mee juga tahu beberapa tulisanku pernah di muat di salah satu surat kabar harian lokal.
Mee mengklipingnya untukku. Beberapa opini, cerpen dan puisi. Bahkan sebuah "majalah sastra", yang kubuat bersama dua orang teman baikku tersimpan dengan baik.
Mee mengarsipkannya untukku.

Jujur, harus kuakui, telah seringkali, aku ingin kembali melatih kesadaranku terhadap adanya talenta itu. Sebuah talenta yang membuatku peka.
Talenta dari karya Illahiah atas kemanusiaanku yang dhoif.
Talenta yang mengajarkanku untuk berbagi ruang dan waktu.
Talenta yang memberikan energi bagi kehidupanku.
Hanya saja, di tengah gelora keinginan itu seringkali sebuah pemikiran berkecamuk.
Sebuah pertanyaan lalu mencuat dari pemikiran yang sederhana..
Apakah aku dapat membuat sesuatu yang lebih baik dari yang pernah ada?
Apakah aku akan mampu kembali menghadirkan sesuatu yang memberi banyak arti bagi banyak orang. Entahlah.
Mungkin Mee benar. Aku harus mencoba lagi. Lagi dan lagi.
Setidaknya untuk aku dan Mee

Mungkin dimulai dari Blog ini....