Jumat, Februari 13, 2009

Bingung Pilih Caleg, Golput Dan Single Identity Number.

Bingung memilih caleg, demikian inti dari pembicaraanku, dua minggu terakhir, dengan  beberapa customer  ku.

Bingung memilih caleg mencuat dari beberapa obrolan ringan yang kulakukan dengan mereka, para pelangganku, saat aku mengirim barang ketempat mereka.  

Dari kalimat-kalimat yang meluncur ringan itulah, begitu kental dan terlihat jelas bagaimana sulitnya mereka mencari dan menentukan figur pemimpin yang tepat itu.  

Figur caleg yang benar-benar memiliki keberpihakan kepada kalangan menengah bawah. Caleg yang benar benar benar dan benar.

Para pelangganku kebanyakan merupakan pemilik usaha kecil. Pada umumnya mereka membangun usaha-usaha perbengkelan yang dikelola secara mandiri dengan modal yang terbatas. Bahkan dua dari mereka berangkat dari titik minus. Berbekal kemauan keras dan kenekatan, kegigihan dan etos kerja yang cukup baiklah, yang membuat mereka terus eksis dan tumbuh perlahan hingga hari ini.

Dari segi tingkat pendidikan, rata-rata mereka hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah menengah.  Sedikit sekali  yang strata satu. Cara berpikir merekapun sederhana, ndak njlimet, seperti debat-debat partai yang belakangan ini sering muncul di teve-teve swasta. Jauh sekali dari mimpi dan angan-angan akan gelimang kekuasaan. Cara berpikir rakyat kebanyakan.

Sesungguhnya, akupun berada pada posisi yang sama dengan mereka, kata-kata yang acapkali di ucapkan untuk menandai eksistensi “kami” di negeri ini  adalah “rakyat, kaum marjinal, kelas tiga, proletar, orang pinggiran, klas bawah” dan beragam lagi yang menunjukkan bahwa “kami” bukan elit. Apalagi elit politik.

Kebingungan para pelangganku itu, sesungguhnya merupakan kebingunganku juga.

Bahkan, bukan tidak mungkin, menjadi kebingungan sebagian besar masyarakat Indonesia, yang saat pemilu tiba nanti, notabene akan menjadi massa mengambang. Yang berujung memilih golput atau asal contreng alias asal pilih yang penting ikut pemilu. Masa bodoh siapa yang menang, yang penting siapa yang kasih duit, kaos atau sembako yang paling banyak.

Kebingungan para pelangganku, bermula dari pertanyaan yang sederhana, siapakah mereka yang photo dirinya saat ini menghiasi jalan-jalan kota?. Dari mana mereka berasal?. Apa sumbangsihnya selama ini, sehingga mencalonkan diri sebagai caleg?. Bagaimana dengan kredibiltasnya? Kejujurannya? Apakah mereka benar-benar benar amanah? Kog, slogan-slogan dan janji-janjinya sama semua?. Yang di baliho itu bebas korupsi nggak? Pernah nrima suap nggak? Pernah ingkar janji nggak?

Siapakah yang mereka klaim sebagai ”rakyatnya”, sebab spanduk, pamflet, poster, stiker, baliho yang mereka pasang itu selalu menyebutkan kata-kata rakyat.  Entah itu “keadilan untuk rakyat” “kesejahteraan untuk rakyat”  “berjuang bersama rakyat” “kemakmuran rakyat” dan ratusan kalimat –kalimat propaganda yang lain, yang mengatasnamakan rakyat.

Pertanyaan-pertanyaan para pelangganku itu membuatku susah tidur.

Dilarangkah pengatasnamaan “rakyat” itu oleh para caleg dan partai politik?

Tentu saja tidak.

Hanya saja, menurutku, menjual dan memperdagangkan kata “rakyat” untuk sekedar menarik simpati waktu pemilu dan benar benar benar berjuang untuk rakyat adalah dua hal yang sangat berbeda dan bertolak belakang.

Salah seorang pelangganku Nazirin bertanya “mengapa partai tumbuh bak jamur di musim hujan?” aku hanya bisa menjawab dengan singkat “kekuasaan dan demokrasi”

Nazirin bingung. Aku juga. Karena aku sendiri tak begitu memahami jawaban yang kuberikan.

“Sperti mi instan” dengusnya. Sebelum mengucapkan terimakasih kepadaku dan melanjutkan pekerjaannya.

Aku tak mengerti maksud Nazirin, sepanjang jalan dari bengkelnya aku berpikir apa maksud Nazirin menyamakan caleg dengan mie instan. Karena sepengetahuanku mie instan adalah salah satu makanan cepat saji.  Apakah ia menyiratkan bahwa caleg-caleg yang ada saat ini, semuanya instan?

Ya.. Instan.. Tiba-tiba saja jadi. Tiba-tiba saja nongol di belantara politik Indonesia. Tiba-tiba saja memperoleh berbagai fasilitas Negara, tiba-tiba saja sok mau minta di hormati dan di layani. Dan tiba-tiba saja lupa dengan konstituennya. Aku jadi benar-benar  tak mengerti jalan pikir Nazirin.

Politik memang bukan ranah untuk masyarakat kecil sepertiku dan Nazirin. Tapi setidaknya aku dan Nazirin memiliki kesamaan. Tidak suka berada di wilayah abu-abu. Sebuah wilayah di mana tidak ada kawan maupun lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Kepentingan siapa? Kepentingan apa? Demi perut siapa.

Tetapi sebelum pulang, sempat kukatakan pada Nazirin untuk tidak perlu pusing memikirkan mereka yang mau jadi caleg. Biarkan saja. Sebab alam akan menyeleksi mereka dengan caranya sendiri.

Pemimpin adalah primus interpares, ia terkemuka di antara yang sama. Lalu sedikit ku bagi pengetahuanku tentang single identity number kepadanya. Dan ia setuju dengan wacana single identity number itu.

Karena single identity number bukan lah sulap dan bukan pula sihir. Single identity number merupakan suatu keniscayaan. Dan bila terwujud, track record seorang caleg, seorang cagub, seorang capres atau siapapun yang akan memangku jabatan publik, rekam jejaknya akan dapat dengan sangat mudah ditelusuri.

Sayangnya, belum terlihat satupun partai yang mendukung dan bersungguh-sungguh mendorong terwujudnya wacana itu.

Mungkin, ke depan single identity number akan menjadi salah satu jawaban agar masyarakat kecil sepertiku, juga Nazirin, tak akan lagi bingung untuk menentukan pilihan. Ga perlu golput. Atau salah contreng dan lebih penting lagi, ga perlu takut sama dosa dan neraka, karena golput atau salah pilih. 

Semoga saja.

Tidak ada komentar: