Selasa, Februari 17, 2009

Ponari dan Batu Ajaib Versus Menkes dan Jamkesmas

Ponari masih menjadi pembicaraan dan perdebatan publik hingga tulisan ini diturunkan.

Berita mengenai Muhammad Ponari (9) dukun cilik dari Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang itu, terus menghiasi halaman – halaman media massa cetak, dan tayangan-tayangan media massa elektronik. Bahkan dunia maya memperbincangkan ponari dengan apresiasi yang juga sangat luar biasa.

Ponari hingga hari ini demikian menghipnotis banyak pembaca dan pemirsa di tanah air, ponari juga mendatangkan banyak komentar dari para tokoh-tokoh di tanah air.  Komentar terakhir datang dari Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari.

Mengutip Metrotvnews.com, Jombang: Menyikapi kasus dukun cilik Ponari, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari di Jakarta, Senin (16/2) mengatakan, fakta tersebut tidak berkaitan langsung dengan tudingan, perawatan kesehatan yang mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Menurut Menkes, untuk pelayanan kesehatan pemerintah telah memfasilitasinya melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Menkes menegaskan, kasus Ponari hanyalah fenomena sosial dan tidak berkaitan dengan sistem kesehatan yang dibangun pemerintah.

Menteri Kesehatan dalam hal ini mungkin saja benar, bahwa  Ponari hanyalah sebuah fenomena social yang tidak berkaitan langsung dengan perawatan kesehatan yang mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Karena pemerintah telah menyiapkan Jamkesmas.

Jamkesmas adalah program pengganti Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Untuk bisa menjadi peserta Jamkesmas, nama penduduk harus didaftarkan oleh Kepala Daerah dan masuk dalam Surat Keputusan kemudian diteruskan ke rumah sakit sebagai daftar rujukan untuk mendapat keringanan biaya.

Melalui program Jamkesmas, masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia yang jumlahnya mencapai 76,4 juta jiwa dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis di sarana pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan dengan anggaran dari APBN.

Menjadi pertanyaan adalah meskipun pemerintah telah menyediakan Jamkesmas untuk sebagian masyarakat dan terus berupaya untuk memperbaiki pemberian pelayaan kesehatan kepada masyarakat, namun  mengapa ribuan masyarakat (yang datang ke Ponari) lebih memilih berobat ke Ponari dari pada menggunakan Jamkesmas atau berobat melalui institusi kesehatan resmi. Mengapa masyarakat yang datang berobat keponari itu lebih memilih untuk minum air comberan bekas mandi Ponari di bandingkan dengan minum obat resep dokter?

Jika Ponari adalah fenomena social sesaat dan akan reda dengan sendirinya, lalu mengapa pula, Kak Seto Mulyadi dari Komnas Perlindungan Anak itu, kemudian menyarankan agar pemerintah setempat untuk memfasilitasi adanya tempat penampungan air, sebagai sebuah sarana yang mempermudah “komunikasi” antara Ponari dan pasiennya.

Dimana statement Kak Seto tersebut, secara ekplisit dapat diartikan sebagai upaya mendukung teknik pengobatan yang dilakukan oleh Ponari.

Untuk menjawab dua pertanyaan yang mengemuka di atas tersebut,  patut pula sebuah perhatian diberikan untuk melihat persoalan kesehatan dan fenomena Ponari ini dari sudut pandang pasien.

Pasien yang dimaksud dalam hal ini tidak saja pasien Ponari, tetapi juga Pasien intitusi resmi. Jika dilontarkan sebuah pertanyaan kepada seorang pasien, apa yang mereka ingin dapatkan ketika mereka pergi berobat, tentu saja jawaban umum yang akan kita dapatkan adalah jawaban bahwa mereka ingin sembuh dari penyakit yang mereka derita secara total, dan kemudian sehat seperti sediakala.

Pasien Ponari (pengobatan tradisional dan alternative) maupun pasien institusi resmi pasti akan menjawab demikian.

Namun jika anda kemudian bertanya pada seorang pasien, dengan pertanyaan “bagaimana jika penyakit yang anda derita (penyakit menahun, perlu rujukan sana dan sini, akan di amputasi,  belum ketemu obatnya, tidak ditanggung askes, memerlukan operasi, kemudian ada biaya dokter spesialis, ada biaya perawatan, membutuhkan waktu perawatan yang cukup lama serta obat-obatan yang sangat mahal) dapat disembuhkan dengan segera setelah meminum air putih yang di celup batu ajaib yang di pegang oleh tangan Ponari (yang maaf :habis mengupil itu).

Manakah yang akan anda pilih, anda akan berobat ke institusi resmi (dokter, puskesmas, rumah sakit) atau anda akan pergi berobat ke Ponari?.

Menurut hemat saya, Ponari atau Jamkesmas, pasienlah nantinya yang akan menjadi hakim yang adil dalam fenomena ini.

Ponari dan batu saktinya, sebagaimana jamkesmas yang menjadi program dari departemen kesehatan itu, perlahan namun pasti akan di uji oleh pasien atau masyarakat itu sendiri.

Semoga saja Ponari dapat “berjabat tangan” dengan Institusi kesehatan resmi. Dan masyarakat dengan kearifannya sendiri, dapat mengambil manfaat positif dari keberadaan keduanya.

 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

batu versus stetoskop hehe