Rabu, Maret 04, 2009

Wisata Belanja Ala Anak TK

Mengapa mereka diajarkan belanja? Itu hanya mengajarkan mereka untuk menjadi generasi konsumtif!. Demikian protes ini kukatakan, sewaktu mee bercerita, jika  tadi pagi ia di minta menemani keponakan kami untuk mengikuti program belajar sambil bermain yang diselenggarakan pihak sekolah, di  salah satu mall yang berada dipusat kota. Program inilah yang menyulut protes kerasku.

Dalam program tersebut, masing-masing anak nantinya akan dibekali dengan sejumlah uang oleh orang tuanya. Dengan uang tersebut, mereka akan diminta untuk membeli beberapa barang kebutuhan, kemudian antri dikasir untuk membayar. Sebelumnya mereka diajarkan untuk mengenal beberapa jenis barang yang biasanya dibutuhkan maupun terdapat dirumah mereka.

Sesaat aku tersenyum geli, mendengar cerita mee, ketika interaksi pengenalan barang itu dilakukan, meskipun rata-rata usia anak-anak tersebut belum lagi tujuh tahun, namun mereka dapat menjawab dengan tepat pertanyaan yang dilontarkan oleh guru-guru yang bertugas saat itu.

Ketika sang guru menunjuk produk minyak goreng seraya bertanya “anak-anak ini apa?” sontak anak-anak TK itu menjawab “minyaakkk goreeenggg buu guuurrrruuu”

“Minyak goreng untuk apa anak-anaaaak” ?

“Untuk menggoreng buuu guruuuuu”

“Kalo ini apa”?

“Itu beras bu gurrrruuuuuuu….”

“beras untuk apa….”

“untuk makan bu gurrrruuu”

“bisa juga untuk makanan ayam bu guuuruuuuu” celetuk seorang anak lagi yang bertubuh sedikit kurus…

Perjalanan shooping pun di lanjutkan…

Ini apa aaanaak- anaaaaakkkk?

“es krim bu guuuruuuuu”

“Wah kalian sudah pinter-pinter yaa… semua pertanyaan ibu bisa kalian jawab dengan baik…

Anak-anak itu pun mengangguk setuju.

Menurut mee, diantara kegiatan “wisata belanja” tersebut, para guru ingin pula mendidik dan mengajarkan budaya “antri” sejak usia dini, budaya “tertib” dan “hidup teratur”. Demikian para guru beralasan. Sembari memperlihatkan buku panduan pelajaran yang mereka bawa.

Aku menghela nafas, Kukatakan pada mee, pada dasarnya aku sependapat dengan argumentasi yang dilontarkan itu. Mendidik dan mengajarkan budaya antri, budaya tertib dan hidup teratur, memang sepatutnya diberikan sejak usia dini dan itu sangat tepat, tetapi aku tidak melihat tujuan dan target yang hendak dicapai akan berhasil 120%.

mengapa demikian, karena dengan memberikan dan meminta mereka untuk membelanjakan sejumlah uang, maka kemungkinan besar yang terjadi adalah  “consumptive behavior” akan lebih mendominasi, dibandingkan dengan tujuan dan target awal yang hendak dicapai. Apalagi lanjut cerita mee, anak-anak terlihat lebih antusias pada saat berbelanja dibandingkan pada saat mengantri pembayaran. Nah lho???

Demikian pula dengan para orang tua yang hadir dalam program tersebut, entah apakah itu benar-benar di dorong oleh memenuhi kebutuhan rumah tangga yang memang sudah mencapai waktunya, sembari memanfaatkan momen “sekalian jalan” tersebut atau lebih bersikap latah dan di picu oleh rasa “gengsi”, kemudian banyak orang tua lalu mengambil keranjang dan kereta barang.

Belanja pun di mulai, para orangtua lalu memenuhi keranjang dan trolly-trolly mereka dengan berbagai macam barang, lalu mengantri di kasir bersama anak-anak mereka yang mulai terlihat suntuk.

Padahal, dalam program ini, para guru membatasi  orang tua untuk tidak mengeluarkan uang lebih dari lima belas ribu rupiah. 

Kenyataan yang terjadi adalah beberapa orang tua terlibat aksi lirak-lirik daftar belanjaan antara sesama mereka lalu terlibat aksi borong.  Seorang anak kemudian menangis sejadi-jadinya, ketika ia tidak mendapatkan es krim dan mainan yang diinginkannya, sebab kebetulan ia hanya ditemani oleh baby sitternya. 

Sebagian orang tua yang lain, terlihat menggerutu, manakala anak-anak mereka mulai mengambil aneka barang serta beberapa mainan yang mungkin saja tidak termasuk dalam anggaran belanja mereka bulan ini.

Proses belanjapun selesai, tiba saatnya untuk membayar, anehnya, tidak semua orang tua  mengantri pada dua lajur kasir yang telah disediakan untuk program ini sebelumnya. Tragis bukan?

Menurut pendapatku, sesungguhnya ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh para orang tua dan juga pendidik dalam hal ini, untuk dapat membiasakan, menanamkan, mendidik dan mengajarkan budaya antri, tertib dan hidup teratur pada anak-anak usia dini, tanpa harus terlebih dahulu mengajarkan belanja dan mengeluarkan sejumlah uang kepada mereka.

Jika memang target yang hendak dicapai dalam program belajar sambil bermain itu adalah budaya antri, tertib dan hidup teratur itu sebagai tujuan utama, mengapa tidak membawa mereka ke bank sebagai wahana pembelajarannya. Atau tempat-tempat lain yang tidak memicu perlombaan membelanjakan uang agar terlihat sebagai memiliki uang, atau perlombaan gesek kartu kredit dan gesek kartu belanja yang kesohor itu.

Jika saja para guru-guru ini, membawa anak-anak tersebut ke bank, tentu saja, selain mereka dapat memperlihatkan dan memberikan penjelasan tentang bagaimana sebuah proses budaya antri, budaya tertib dan hidup teratur dengan lebih baik,  pada saat yang sama para guru dapat pula memulai menanamkan kebiasaan untuk menabung sejak dini.

Bukankah menabung lebih positif ketimbang  membelanjakan uang? Bukankah tabungan yang di kelola dengan baik dapat menjadi asset yang berharga di kemudian hari, ketimbang memberikan pelajaran “wisata belanja” yang konsumerisme itu..?

Ini bukan apriori lanjutku kepada mee, hanya saja program ini sangat tidak produktif. Sejenak pikiranku nelangsa. Generasi konsumtif memang lebih mudah diciptakan. Perlombaan tikus dalam bahasa Robert T Kiyosaki menjadi relevan dalam hal ini.

Mau bilang apalagi !!!